Sebuah Bingkai Pergerakan
Oleh: Amir Muzaqi, S.H
1. Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-Rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu‟min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur‟an dan Hadits. Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu‟tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur‟an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa alJama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
2. Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun itu, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa ditawar tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari “kesembronoan” anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.
3. Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
a. Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis.
Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah; Pertama, fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institu siinstitusi pendukungnya. Kedua, semakin menguatnya institusi-institusi ekonmi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.
Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Kedua, dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Ketiga, peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Keempat, liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Kelima, privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. Keenam, restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.
Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.
Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Pertama, tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi alMaslahah).
Kedua, tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
Ketiga, pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu “mengebiri” hak-hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.
Keempat, tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUd 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.
Kelima, perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal -hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini dipe rlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan; Pertama, adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi. Kedua, penghentian hutang luar negeri. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat, pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).
Secara taktis langkah yang seharusnya kita tempuh yaitu: Pertama, perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi pada masyarakat. Kedua, advokasi kepada masyarakat. Ketiga, perlunya penegasan pembenahan pertanggungjawaban pengelolaan hutang luar negeri langsung kepada presiden ketika meletakkan jabatan. Keempat, penggunaan dan maksimalisasi seluruh resources dalam negeri (sumber daya alam, pemanfaatan SDM, kultur dan juga pengetahuan). Kelima, nasionalisasi tekhnologi internasional.
b. Prespektif Sosial Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: Pertama, kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat. Kedua, kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beebrapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan. Dalam realitas demikian harus dilakukan desentralisasi sebagai memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominan. Yakni upaya balancing of power, yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah. Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan panduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke depan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal dan eksternal. Strategi pertama,
yaitu melakukan penguatan
internal PMII yang
meliputi strategi
perjuangan, membangun pandangan
hidup, dan pegangan
hidup. Sehingga, PMII diharapakan memiliki
daya dobrak terhadap
kekuatan-kekuatan dominan dan
otoriter. Yang kedua, aspek
eksternal. PMII harus
melakuakan penyegaran terhadap
masyarakat bawah atau sipil
atas ketertindasannya dari
kekuatan dominan. Dan
selanjutnya adalah PMII harus
bisa mengupayakan atau menembus infra struktural terutama dalam persoalan
media, karena selama
ini masih kalah
dengan “Inul”. PMII
harus bisa melakukan bargaining power
dengan pemerintah melalui
jalan struktural, termasuk
melakuakan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII,
dimana substansinya adalah
jalan tengah, maka
sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk
mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti
nilai Ahlussunnah wal Jama‟ah. Nilai-nilai
Ahlussunnah wal Jama’ah
seperti tawazun, akan
dapat melahirkan nilai
Ahlussunnah wal Jama’ah
yang ta‟adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan
strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan
dan otoriter yang
pada akhirnya bermuara
menjadi gerakan revolusiner.
Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut.
Kalaupun harus, maka cara revolusioner
itu ditempuh sebagai
langkah terakhir. Maka
yang harus dilakukan PMII adalah
gerakan revolusi dengan
maksud merubah tatanan,
tapi bukan sengaja
membuat kekerasan untuk menuju
tatanan yang lebih
baik dengan alasan
kemaslahatan. Ketika
pemerintah itu otoriter,
jelas tidak selaras
dengan nilai-nilai dalam
PMII, tasharrufal-alimam manutun
„ala raiyyati kaitannya
dengan kulluklum ra‟in
wa kullukum mas‟ulunan raiyytih. Meski
disadari, memperbaiki tatanan
merupakan pekerjaan yang
tidak mudah, apalagi tatanan
tersebut bersifat otoriter.
Sudah sepatutnya PMII
bergerak merubahnya. Upaya serius
menstransformasikan
nilai-nilai Ahlu Sunnah
wa al-Jama’ah sebagai
salah satu sistem nilai
yang terpatri menjadi
ideologi pergerakan PMII
adalah mendesak, termasuk dalam
menata ulang kondisi sosial politik yang amburadul.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir .
ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka
cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini
kondisi sosial politik
Indonesia mengalami degradasi
luar biasa. Ada
empat variabel yang dapat
membantu mencari akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu
menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang
sebtulnya tidak berpihak pada
rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu
munculnya ketidak percayaan
masyarakat terhadap pemerintah
sebagai penyelenggara Negara.
Kedua, militer. Pada
dasarnya adanya militer
adalah karena untuk
mengamankan Negara dari ancaman,
bukan malah mengancam.
Selama 32 tahun
masyarakat Indonesia
mempunyai pengalaman pahit
dengan perlakuan-perlakuan militer.
Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara
institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer
professional merupakan cerminan
adanya keinginan militer
untuk berubah lebih baik.
Namun, penegasan dan
upaya ke arah
professionalitas militer masih belum
cukup signifikan dan
menampakkan hasil. Peran
militer terutama pada
wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol.
Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara
yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul,
militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan
pertahanan Negara, maka
tidak seharusnya menarik-narik
militer ke medan
politik yang jelas-jelas bukanlah
arena militer.
Ketiga, kalangan sipil.
Ironisnya, ketika ada
keinginan membangun tatanan
civil society, yang arahnya
ingin membangun supermasi
sipil, namun kenyataannya
kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara
(pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang
terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran
(pemerintahan) adalah sebagai
penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu
Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari
masyarakat ataupun kalangan
poitisi yang mewakili
di parleman kecendrungannya seperti
dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan
seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam
wilayaah politik. Oleh karena itu
dari ketiga variabel
tersebut pada kondisi
kekinian yang ada,
perlu penegasan dan penjelasan terhadap
peran dan fungsi
serta posisinya masing-masing. Terutama
bagi kalangan sipil yang
tereduksi menjadi kalangan
politisi untuk tidak
membawa kepentingan-kepentingan
politiknya memasuki arena
lain. Jika itu
tetap berlangsung (ketidakjelasan
peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga
peradilan) maka niscaya
ketidakpercayaan rakyat semakin
mengkristal terhadap semua institusi tersebut.
Pada fase itu,
rakyat dapat dikatakan
tidak lagi membutuhkan
perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan
lembaga peradilan. Realitas seperti itu dapat
kita saksikan sampai
hari ini. Meski
telah bebrapa kali
berganti kepemimpinan nasional, ternyata
masalah yang timbul lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang lama juga
belum teratasi. Oleh
karena itu, menata
ulang tatanan Indonesia
hari ini merupakan kebutuhan yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar
fungsi masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar