ASWAJA (Ahlu Sunnah Wa Al- Jamaah) PMII

Sebuah Bingkai Pergerakan
Oleh: Amir Muzaqi, S.H

1.  Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

Sebenarnya  sistem  pemahaman  Islam  menurut  Ahlu  Sunnah  wa  al-Jama’ah  hanya merupakan  kelangsungan  desain  yang  dilakukan  sejak  zaman  Rasulullah  SAW  dan Khulafaur-Rasyidin.  Namun  sistem  ini  kemudian  menonjol  setelah  lahirnya  madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang  Ulama’ besar  bernama  Al-Imam  Al-Bashry  dari  golongan  At-Tabi’in  di Bashrah  mempunyai  sebuah  majlis  ta’lim,  tempat  mengembangkan  dan  memancarkan  ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.

Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu‟min yang melakukan  dosa  besar.  Pertanyaan  yang  diajukannya,  apakah  dia  masih  tetap  mu’min  atau tidak?  Jawaban  Al-Imam  Hasan  Al-Bashry,  “Dia  tetap  mu’min  selama  ia  beriman  kepada Allah  dan  Rasul-Nya,  tetapi  dia  fasik  dengan  perbuatan  maksiatnya.”  Keterangan  ini berdasarkan  Al-Qur‟an  dan  Al-Hadits  karena  Al-Imam  Hasan  Al-Bashry  mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur‟an dan Hadits.  Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ

 فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”

Tetapi,  jawaban  gurunya  tersebut,  ditanggapi  berbeda  oleh  muridnya,  Washil  bin  Atha’. Menurut  Washil,  orang  mu’min  yang  melakukan  dosa  besar  itu  sudah  bukan  mu’min  lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Perkembangan  berikutnya,  sang  murid  tersebut  dikucilkan  oleh  gurunya.  Hingga  ke pojok  masjid  dan  dipisah  dari  jama’ahnya.  Karena  peristiwa  demikian  itu  Washil  disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Mereka  memproklamirkan  kelompoknya  dengan  sebutan  Mu‟tazilah.  Kelompok  ini, ternyata  dalam  cara  berfikirnya,  juga  dipengaruhi  oleh  ilmu  dan  falsafat  Yunani.  Sehingga, terkadang  mereka  terlalu  berani  menafsirkan  Al-Qur’an  sejalan  dengan  akalnya.  Kelompok semacam  ini,  dalam  sejarahnya  terpecah  menjadi  golongan-golongan  yang  tidak  terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang  terlalu  ekstrim,  berani  menolak  Al-Qur’an  dan  Assunnah,  bila  bertentangan  dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak  itulah  maka  para  ulama’  yang  mengutamakan  dalil  al-Qur‟an  dan  Hadits namun  tetap  menghargai  akal  pikiran  mulai  memasyarakatkan  cara  dan  sistem  mereka  di dalam  memahami  agama.  Kelompok  ini  kemudian  disebut  kelompok  Ahlu  Sunnah  wa  alJama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem  pemahaman  agama  yang  telah  berlaku  semenjak  Rasulullah  SAW  dan  para shahabatnya.

2.  Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?

Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual  muda  NU  yang  menyerap  banyak  literatur  baru  dalam  hidupnya.  Sebuah  usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah  adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman  Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah  kita  saat  ini?  Adakah  ia  sebuah  tradisi  yang  tak  bisa  diberantas  (Aqidah)  atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun  itu,  tentunya  menjadi  sebuah  hal  yang  unik  dan  menarik  untuk  dibicarakan. Betapa  tidak?  Ketika  para  intelektual  muda  NU  bergeliat  mencari  makna  kebenaran  Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah  yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para  kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Beberapa  runutan  pemikiran  berikutnya,  ia  banyak  menjelaskan  bahwa  Ahlus Sunnah wal  Jama’ah  lahir  dengan  sebab  bahwa  ini  adalah  pondasi  ideologi  yang  tak  bisa  ditawar tawar.  Pemahaman  ini  kemudian  dikembalikan  dengan  watak  asli  Ahlu  Sunnah  wal  Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas  menafsirkan  agama  dari  “kesembronoan”  anak  muda.  Sebuah  bangunan  pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu  kesimpulan  awal  yang  diambil  dari  pemaparan  diatas  adalah  para  ulama  merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama  ini  dibangun,  selain  pengkultusan  yang  juga  akan  hilang  begitu  saja,  sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya  dugaan  bahwa  ini  terjadi  karena  tradisi  Islam  yang  ada  juga  masih menimbulkan  pertanyaan,  karena  Islam  bukan  lahir  di  Indonesia  tetapi  tersebar  sampai  ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi  bangsa  ini  dengan  meng-Islam-kan  beberapa  diantaranya.  Persinggungan  inipun menjadi  sebuah  masalah,  bukan  hanya  karena  belum  berhasilnya  menghilangkan  rasa ketradisian  yang  asli,  tetapi  juga  pada  sebuah  pertanyaan  apakah  sebuah  tradisi  Islam  yang ada  adalah  tradisi  asli  dari  bangsa  Arab?  atau  jangan-jangan  sudah  terakulturasi  dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang  dianggap  tak  akan  bersalah  dan  tak  dapat  disalahkan.  Pemahaman  yang  sejati  tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah  dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.

3.  Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr

a.  Perspektif Sosial Ekonomi

Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu  kiranya  kita  mulai  pembacaan  dan  identifikasi  persoalan  yang  dilanjutkan  dengan perumusan  kerangka  teoritis  dengan  dilengkapi  kerangka  tawaran  langkah-langkah  yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis.
Pertama,  perlunya  pembacaan  yang  cukup  cermat  atas  realitas  sosial  ekonomi Indonesia.  Ini  diperlukan  terutama  untuk  mengurai  lapis-lapis  persoalan  yang  ada  dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati  dalam  konteks  ini  adalah;  Pertama,  fenomena  kapitalisme  global  yang termanifestasikan  melalui  keberadaan  WTO,  world  bank  dan  juga  IMF,  serta  institu siinstitusi  pendukungnya.  Kedua,  semakin  menguatnya  institusi-institusi  ekonmi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest  melalui  kekuatan  bisnis  modal  dalam  negeri  yang  berkolaborasi  dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.
Fenomena  pertama  berjalan  dengan  kebutuhan  pasar  dalam  negeri  yang  sedang mengalami  kelesuan  investasi  dan  kemudian  mendorong  pemerintah  untuk  mengajukan proposal  kredit  kepada  IMF  dan  WB.  Pengajuan  kredit  tersebut  membawa  konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini  secara  praktis  menjadikan  Indonesia  harus  tunduk  pada  berbagai  klausul  dan  aturan yang  digariskan  baik  oleh  WB  maupun  IMF  sebagai  persyaratan  pencairan  kredit.  Dan aturan-aturan  itulah  yang  kemudian  kita  kenal  dengan  structural  adjustment  program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam  negeri  yang  akan  berakibat  pada  pemotongan  subsidi  masyarakat.  Kedua, dinaikkannya  pajak  untuk  menutupi  kekurangan  pembiayaan  akibat  diketatkan  APBN. Ketiga,  peningkatan  suku  bunga  perbankan  untuk  menekan  laju  inflasi.  Keempat, liberalisasi  pasar  yang  berakibat  pada  terjadinya  konsentrasi  penguasaan  modal  pada segelontir  orang  dan  liberalisasi  perdagangan  yang  mengakibatakan  munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Kelima, privatisasi  BUMN yang berakibat  pada  penguasaan  asst-aset  BUMN  oleh  para  pemilik  asing.  Keenam, restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.
Karakter  umum  liberalisasi  yang  lebih  memberikan  kemudahan  bagi  arus  masuk barang  dan  jasa  (termasuk  invesasi  asing)  dari  luar  negeri  pada  gilirannya  akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan  jasa  luar  negeri.  Sementara  di  level  kebijakan  pemerintah  semakin  tidak  diberi kewenangan  untuk  mempengaruhi  regulasi  ekonomi  yang  telah  diambil  alih  sepenuhnya oleh  pasar.  Sebuah  ciri  dasar  dari  formasi  sosial  neo-liberal  yang  menempatkan  pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.
Implikasi  yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak,  buruh,  dan  lain  sebagainya)  adalah  terjadinya  pemiskinan  sebagai  akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih  ketika  sektor  ekonomi  memperkenalkan  istilah  foreign  direct  investment  (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus  investasi  yang  difasilitasi  oleh  berbagai  kebijakan  tersebut  pada  gilirannya  akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas  sosial-ekonomi;  Pertama,  tidak  adanya  keberpihakan  Negara  kepada  rakyat.  Ini bisa  kita  tengarai  dengan  keberpihakan  yang  begitu  besar  terhadap  kekeutan-kekuatan modal  internasional  yang  pada  satu  segi  berimbas  pada  marjinalisasi  besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model  pengukuran  pemihakan  kebijakan.  Dalam  khazanah  klasik  kita  mengenal  satu kaidah  yang  menyatakan  bahwa  kebijakan  seorang  imam  harus  senantiasa  mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi alMaslahah).
Kedua,  tidak  terwujudnya  keadilan  ekonomi  secara  luas.  Arus  investasi  yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi  yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi  hasil  antara  pihak  investor  dengan  tenaga  kerja.  investor  selalu  berada  dalam posisi  yang  diuntungkan,  sementara  pekerja  selalu  dalam  posisi  yang  dirugiakn.  Sebuah kondisi  yang  akan  mendorong  terjadinya  konglomerasi  secara  besar-besaran.  Sehingga diperlukan  pemikiran  untuk  menawarkan  jalan  penyelesaian  melalui  apa  yang  kita  kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah.  Sehingga  secara  opertif  pemodal  dan  pekerja  terikat  satu  hubungan  yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
Ketiga,  pemberian  reward  kepada  pekerja  tidak  bisa  menjawab  kebutuhan  yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu  “mengebiri”  hak-hak pekerja.  Ini terjadi karena hanya  didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan  modal  manajemen  upah  yang  didasarkan  pada  prosentasi  kontribusi  yang diberikan  oleh  pekerja  kepada  perusahaan  ataupun  proses  produksi  secara  umum. Standarisasi  yang  kita  sebut  dengan  UPH  (upah  prosentasi  hasil)  pada  seluruh  sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada  distribusi  kekayaan  dalam  tubuh  umat  itu  secara  adil  dan  merata  untuk  mencegah adanya konglomerasi ekonomi.
Keempat,  tidak  adanya  perlindungan  hukum  terhadap  pekerja.  Hal  ini  bisa  kita  lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang  mengindikasikan  satu  kecenderungan  bahwa  kebijakan-kebijakan  Negara  lebih banyak  diorientasikan  semata  untuk  menarik  investasi  sebesar-besarnya  tanpa  pernah memikirkan  implikasi  yang  akan  muncul  dilapangan.  Termasuk  potensi  dirugikannya masyarakat  baik  secara  ekologis  (lingkungan  dalam  kaitannya  dengan  limbah  industri), ekonomis  (tidak  berimbangnya  penghasilan  dengan  daya  beli),  ataupun  secara  geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul  level  ini  kita  menuntut  pemberlakuan  undang-undang  pasal  28b  UUd  1945  serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.
Kelima,  perlunya  masyaraakat  dilibatkan  dalam  pembicaraan  mengenai  hal -hal penting  berkaitan  dengan  pembuatan  rencana  kebijakn  investasi  dan  kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini dipe rlukan untuk mengantisipasi potensi  resistan  yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat  desa  masih  terdapat  ketidakadilan  informasi  kepada  masyarakat.  Sehingga masyarakat  hampir-hampir  tidak  mengetahui  apa  yang  telah,  sedang  dan  akan  dilakukan pemerintah  di  wilayah  mereka.  Kondisi  demikian  pada  banyak  level  akan  merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.
Hal  lain  yang  juga  menyangkut  persoalan  ekonomi  adalah  perlunya  elaborasi  atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional  Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah  sebagai  manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak,  terutama  mengingat  adanya  kebingungan  di  beberapa  tempat  menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu  Sunnah  wa  al-Jama’ah  untuk  menyediakan  kerangka  operatif  yang  akan  memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah  praktis  berupa  kerangka  pengembangan  ekonomi  yang  kemudian  kita  sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi  pengelolaan  ekonomi  yang  dibangun  di  atas  kemampuan  kita  sebagai  sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan;  Pertama, adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi.  Kedua, penghentian  hutang  luar  negeri.  Ketiga,  adanya  internalisasi  ekonomi  Negara.  Keempat, pemberlakuan  ekonomi  political  dumping.  Kelima,  maksimalisasi  pemanfaatan  sumber daya  alam  dengan  pemanfaatan  tekhnologi  berbasis  masyarakat  lokal  (society-based technology).
Secara taktis langkah yang seharusnya kita tempuh yaitu: Pertama, perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi pada masyarakat.  Kedua, advokasi kepada  masyarakat.  Ketiga,  perlunya  penegasan  pembenahan  pertanggungjawaban pengelolaan  hutang  luar  negeri  langsung  kepada  presiden  ketika  meletakkan  jabatan. Keempat,  penggunaan  dan  maksimalisasi  seluruh  resources  dalam  negeri  (sumber  daya alam, pemanfaatan SDM, kultur dan juga pengetahuan).  Kelima, nasionalisasi tekhnologi internasional.

b.  Prespektif Sosial Politik, Hukum dan HAM

Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah,  masyarakat  dan  pasar.  Tidak  mungkin  membayangkan  satu  kebijakan  hanya menekan  aspek  kepentingan  pemerintah  tanpa  melibatkan  masyarakat.  Dalam  satu kebijakan  harus  senantiasa  melihat  dinamika  yang  bergerak  di  orbit  pasar.  Dalam  kasus yang  lain  tidak  bias  jika  kemudian  pemerintah  hanya  mempertimbangkan  selera  pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan  muncul  ketika:  Pertama,  kebijakan  dalam  tahap  perencanaan,  penetapan, dan  pelaksanaannya  seringkali  monopoli  oleh  pemerintah.  Dan  selama  ini  kita  melihat sedikit  sekali  preseden  yang  menunjukan  keseriusan  pemerintah  untuk  melibatkan masyarakat.  Kedua,  kecendrungan  pemerintah  untuk  selalu  tunduk  kepada  kepentingan pasar,  sehingga  pada  beebrapa  segi  seringkali  mengabaikan  kepentingan  masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama  kepentingan pemerintah  dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi  kekuasaan  yang  akan  mengakibatkan  munculnya  kembali  kedzaliman, ketidakadilan,  dan  ketidaksejahteraan.  Dalam  realitas  demikian  harus  dilakukan desentralisasi  sebagai  memecah  konsentrasi  kekuasaan  oleh  satu  pihak  secara  dominan. Yakni  upaya  balancing  of  power,  yang  diorientasikan  untuk  mendorong  terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah.  Bagaimana  kemudian  PMII  merumuskan  strategi  gerakannya  dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan  terutama  untuk  memberikan  panduan  bagi  kolektivitas  gerakan  kader  PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke depan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek,  yaitu internal dan eksternal. Strategi  pertama,  yaitu  melakukan  penguatan  internal  PMII  yang  meliputi  strategi perjuangan,  membangun  pandangan  hidup,  dan  pegangan  hidup.  Sehingga,  PMII diharapakan  memiliki  daya  dobrak  terhadap  kekuatan-kekuatan  dominan  dan  otoriter. Yang  kedua,  aspek  eksternal.  PMII  harus  melakuakan  penyegaran  terhadap  masyarakat bawah  atau  sipil  atas  ketertindasannya  dari  kekuatan  dominan.  Dan  selanjutnya  adalah PMII harus bisa mengupayakan atau menembus infra struktural terutama dalam persoalan media,  karena  selama  ini  masih  kalah  dengan  “Inul”.  PMII  harus  bisa  melakukan bargaining  power  dengan  pemerintah  melalui  jalan  struktural,  termasuk  melakuakan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah  yang juga menjadi nilai dasar (NDP)  PMII,  dimana  substansinya  adalah  jalan  tengah,  maka  sudah  sepatutnya  bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama‟ah. Nilai-nilai  Ahlussunnah wal Jama’ah  seperti  tawazun,  akan  dapat  melahirkan  nilai  Ahlussunnah  wal  Jama’ah  yang ta‟adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan  dominan  dan  otoriter  yang  pada  akhirnya  bermuara  menjadi  gerakan revolusiner.
Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun harus, maka cara revolusioner  itu  ditempuh  sebagai  langkah  terakhir.  Maka  yang  harus  dilakukan  PMII adalah  gerakan  revolusi  dengan  maksud  merubah  tatanan,  tapi  bukan  sengaja  membuat kekerasan  untuk  menuju  tatanan  yang  lebih  baik  dengan  alasan  kemaslahatan.  Ketika pemerintah  itu  otoriter,  jelas  tidak  selaras  dengan  nilai-nilai  dalam  PMII,  tasharrufal-alimam  manutun  „ala  raiyyati  kaitannya  dengan  kulluklum  ra‟in  wa  kullukum  mas‟ulunan raiyytih.  Meski  disadari,  memperbaiki  tatanan  merupakan  pekerjaan  yang  tidak  mudah, apalagi  tatanan  tersebut  bersifat  otoriter.  Sudah  sepatutnya  PMII  bergerak  merubahnya. Upaya  serius  menstransformasikan  nilai-nilai  Ahlu  Sunnah  wa  al-Jama’ah  sebagai  salah satu  sistem  nilai  yang  terpatri  menjadi  ideologi  pergerakan  PMII  adalah  mendesak, termasuk dalam menata ulang kondisi sosial politik yang amburadul.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini  kondisi  sosial  politik  Indonesia  mengalami  degradasi  luar  biasa.  Ada  empat  variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat  kelas  bawah.  Dengan  adanya  kebijakan-kebijakan  yang  sebtulnya  tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya  ketidak  percayaan  masyarakat  terhadap  pemerintah  sebagai  penyelenggara Negara.
Kedua,  militer.  Pada  dasarnya  adanya  militer  adalah  karena  untuk  mengamankan Negara  dari  ancaman,  bukan  malah  mengancam.  Selama  32  tahun  masyarakat  Indonesia mempunyai  pengalaman  pahit  dengan  perlakuan-perlakuan  militer.  Meski,  dalam  hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan  militer  professional  merupakan  cerminan  adanya  keinginan  militer  untuk berubah  lebih  baik.  Namun,  penegasan  dan  upaya  ke  arah  professionalitas  militer  masih belum  cukup  signifikan  dan  menampakkan  hasil.  Peran  militer  terutama  pada  wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan  pertahanan  Negara,  maka  tidak  seharusnya  menarik-narik  militer  ke  medan  politik  yang jelas-jelas bukanlah arena militer.
Ketiga,  kalangan  sipil.  Ironisnya,  ketika  ada  keinginan  membangun  tatanan  civil society,  yang  arahnya  ingin  membangun  supermasi  sipil,  namun  kenyataannya  kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi  dan  peran  (pemerintahan)  adalah  sebagai  penyelenggara  bukanlah  sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal  dari  masyarakat  ataupun  kalangan  poitisi  yang  mewakili  di  parleman kecendrungannya  seperti  dijelaskan  sebelumnya,  menyeret-nyeret  dan  seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu  dari  ketiga  variabel  tersebut  pada  kondisi  kekinian  yang  ada,  perlu  penegasan  dan penjelasan  terhadap  peran  dan  fungsi  serta  posisinya  masing-masing.  Terutama  bagi kalangan  sipil  yang  tereduksi  menjadi  kalangan  politisi  untuk  tidak  membawa kepentingan-kepentingan  politiknya  memasuki  arena  lain.  Jika  itu  tetap  berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan)  maka  niscaya  ketidakpercayaan  rakyat  semakin  mengkristal  terhadap  semua institusi tersebut.

Pada  fase  itu,  rakyat  dapat  dikatakan  tidak  lagi  membutuhkan  perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan lembaga peradilan. Realitas seperti itu dapat  kita  saksikan  sampai  hari  ini.  Meski  telah  bebrapa  kali  berganti  kepemimpinan nasional, ternyata masalah yang timbul lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang lama  juga  belum  teratasi.  Oleh  karena  itu,  menata  ulang  tatanan  Indonesia  hari  ini merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar fungsi masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar